Ganjil 2023/2024

Perkuliahan ini diharapkan memberikan pemahaman menyeluruh kepada mahasiswa tentang munculnya perspektif non-western dalam studi ilmu komunikasi. Kemunculan perspektif non-western diprakarsai oleh Valbuena (1986), Dissanayake (1988), Jayaweera (1988), Chu (1988), Tehranian (1988 & 1996), dan Murthy (2000) yang menyatakan perlunya peninjauan kembali kajian-kajian komunikasi Barat dengan budaya dan tradisi Asia. Sampai saat ini terdapat perdebatan apakah kajian komunikasi dapat dipisah-pisahkan berdasar perspektif geografis dan budaya. Hal ini dirasa masuk akal, mengingat bahwa kajian komunikasi umumnya lahir dari sarjana-sarjana di Barat, sehingga kajian/teori yang dihasilkan lebih banyak berlatar belakang pemikiran dan budaya mereka. Sedangkan pendekatan Asia/non-western sendiri lahir dari permasalahan di masyarakat Asia, khususnya di bidang pembangunan. Chu (1988) berpendapat bahwa masalah yang muncul dalam studi komunikasi antara Barat dan Timur adalah persoalan budaya. Pendapat tersebut berlandaskan pada cara pandang yang berbeda d iantara masing-masing budaya terhadap lingkungannya. Meskipun sebenarnya di Asia juga tidak bisa dikatakan sebagai masyarakat yang homogen, karena banyak nilai yang memengaruhinya seperti nilai-nilai keyakinan Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Islam, dan Tao. Sedangkan di Barat dominasi nilai-nilai Kristen menjadi latar belakang kelahiran sebuah teori dalam komunikasi. Selain memberikan pemahaman tentang perspektif non-western, perkuliahan ini dibangun dengan semangat poskolonial, dimana semangat menggugah narasi-narasi besar yang lahir dari budaya Barat. Mahasiswa juga diharapkan memiliki kemampuan analisis untuk memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari seperti apa perspektif non-western dalam studi ilmu komunikasi.